Sempat muncul polemik penggunaan topi natal. Polemik muncul alasannya ialah ada kelompok yg bersikeras berpegang pada dalil yg menyebutkan bahwa meniru-niru sama dengan yg ditiru. Orang Islam seharusnya tidak menggandakan orang yg tidak Islam - dalam hal ini kristen. Yaitu dengan tidak menggunakan topi natal.
Sebelum melanjutkan klarifikasi wacana topi natal dan hubungannya dengan kekafiran, ada baiknya dijelaskan terlebih dulu apa Maksud dengan topi natal. Saat kita ketik 'Topi Natal' di google pencarian (google search), maka temuan yg dihasilkan oleh mesin pencari google ialah topi (penutup kepala) berwarna merah kombinasi putih, meruncing di bab ujungnya. Topi tersebut identik dengan karakter fiktif berjulukan Sinterklas (santaclaus). Maka ada pula yg menyebutnya dengan nama topi natal.
Sebagian umat muslim memandang bahwa topi merah putih tersebut identik dengan agama kristen. Orang yg menggunakan topi tersebut berMakna menggandakan orang kristen. Orang yg meniru-niru orang
kristen padahal orang tersebut ialah islam, maka dianggap keluar dari islam, minimal mengurangi nilai keimanannya.
Jika hanya 'menganggap' mungkin tidak masalah. Tetapi, menghalang-halangi mungkin dapat memunculkan masalah. Misalnya, melarang orang islam menggunakan topi merah kerucut yg identik dengan perayaan natal umat Kristen. Hal ini dapat memunculkan polemik, alasannya ialah ada yg menganggap itu ialah budaya barat yg dihentikan kita tiru.
Ada pula pihak yg berlebih-lebihan dalam membela pemakaian topi natal. Mungkin hal itu juga tidak perlu. Janganlah berlebih-lebihan dalam membenci dan membela sesuatu. Mari gunakan nalar sehat.
Kembali ke dilema topi. Pada dasarnya topi ialah epilog kepala. Topi ialah istilah yg digunakan oleh masyarakat modern. Penutup kepala yg bertalian dengan dengan banyak sekali nama sesuai dengan lokasi dan bentuknya. Kain yg dililitkan di kepala kaum lelaki di Jawa disebut 'udeng'. Jika kain itu sudah berbentuk dan tinggal menggunakan, disebut 'blangkon'. Sementara kain yg digunakan oleh kaum lelaki di Timur Tengah disebut 'sorban', bila kain tersebut tidak dililitkan disebut 'kafiyah' (ada yg menulis: 'kafiyeh'). Dalam budaya nusantara dikenal epilog kepala berjulukan 'songkok'.
Kita ambil pola topi natal dan blangkon. Keduanya sama-sama epilog kepala. Topi natal identik dengan Sinterklas, tokoh imajinatif yg pekerjaannya menunjukkan hadiah bagi belum dewasa Saat malam natal. Dia menaiki kereta kutub terbang yg ditarik oleh rusa terbang. Hadiah yg diberikan kepada belum dewasa dibentuk oleh para peri yg membantu Sinterklas. Ciri khas yg lain adalah, Sinterklas masuk ke dalam rumah melalui cerobong asap. Sekali lagi, ini ialah dongeng imajinatif, tokoh imajinatif. Karena dongeng tersebut direproduksi, diremix dalam banyak sekali bentuk karya kreatif lain (film, gambar, dongeng dengan banyak sekali versinya), seakan-bakal Sinterklas benar-benar ada. Akhirnya Sinterklas identik dengan agama Kristen.
Padahal, perayaan natal dilakukan oleh pemeluk agama Nasrani untuk memperingati lahirnya Yesus alias Isa alias Mesiah. Sama sekali tidak memperingati Sinterklas apalagi tiruan topi Sinterklas. Bahkan, jubah pun yg identik dengan pakaian Islam timur tengah, juga bukan an sich kebudayaan Islam. Bukan pakaian Islam (saja). Sebelum Islam disebarkan oleh Nabi Muhammad, orang timur tengah sudah menggunakan Jubah, sudah menggunakan sorban.
Di Jawa, ada pakaian berjulukan Sorjan, ada pula Blangkon. Penutup kepala khas Jawa yg identik dengan tokoh penyebar Islam di tanah Jawa, Sunan Kalijaga. Mungkin, orang yg menganggap bahwa pakaian Islam ialah sorban tidak suka menggunakan blangkon. Mungkin juga anti blangkon alasannya ialah dianggap tidak Islami.
yg jelas, sekali lagi tidak perlu diperumit. Jika topi natal alias topi sinterklas ialah bukan kebudayaan Islam dan dihentikan memakainya, mungkin orang Islam di Indonesia dihentikan menggunakan karakter latin alasannya ialah karakter latin, alfabet a hingga z dikenalkan oleh para misionaris Kristen. Jelas, ini ialah kebudayaan Kristen. yg Mudah jangan dipersulit ah. Nanti bisa-bisa tambah ruwet.
Mohon koreksinya dari pembaca yg budiman. Takut ada Keliru fatwa yg membawa kesesatan.
Salam Pustamun!
Sebelum melanjutkan klarifikasi wacana topi natal dan hubungannya dengan kekafiran, ada baiknya dijelaskan terlebih dulu apa Maksud dengan topi natal. Saat kita ketik 'Topi Natal' di google pencarian (google search), maka temuan yg dihasilkan oleh mesin pencari google ialah topi (penutup kepala) berwarna merah kombinasi putih, meruncing di bab ujungnya. Topi tersebut identik dengan karakter fiktif berjulukan Sinterklas (santaclaus). Maka ada pula yg menyebutnya dengan nama topi natal.
Sebagian umat muslim memandang bahwa topi merah putih tersebut identik dengan agama kristen. Orang yg menggunakan topi tersebut berMakna menggandakan orang kristen. Orang yg meniru-niru orang
kristen padahal orang tersebut ialah islam, maka dianggap keluar dari islam, minimal mengurangi nilai keimanannya.
Jika hanya 'menganggap' mungkin tidak masalah. Tetapi, menghalang-halangi mungkin dapat memunculkan masalah. Misalnya, melarang orang islam menggunakan topi merah kerucut yg identik dengan perayaan natal umat Kristen. Hal ini dapat memunculkan polemik, alasannya ialah ada yg menganggap itu ialah budaya barat yg dihentikan kita tiru.
Ada pula pihak yg berlebih-lebihan dalam membela pemakaian topi natal. Mungkin hal itu juga tidak perlu. Janganlah berlebih-lebihan dalam membenci dan membela sesuatu. Mari gunakan nalar sehat.
Kembali ke dilema topi. Pada dasarnya topi ialah epilog kepala. Topi ialah istilah yg digunakan oleh masyarakat modern. Penutup kepala yg bertalian dengan dengan banyak sekali nama sesuai dengan lokasi dan bentuknya. Kain yg dililitkan di kepala kaum lelaki di Jawa disebut 'udeng'. Jika kain itu sudah berbentuk dan tinggal menggunakan, disebut 'blangkon'. Sementara kain yg digunakan oleh kaum lelaki di Timur Tengah disebut 'sorban', bila kain tersebut tidak dililitkan disebut 'kafiyah' (ada yg menulis: 'kafiyeh'). Dalam budaya nusantara dikenal epilog kepala berjulukan 'songkok'.
Kita ambil pola topi natal dan blangkon. Keduanya sama-sama epilog kepala. Topi natal identik dengan Sinterklas, tokoh imajinatif yg pekerjaannya menunjukkan hadiah bagi belum dewasa Saat malam natal. Dia menaiki kereta kutub terbang yg ditarik oleh rusa terbang. Hadiah yg diberikan kepada belum dewasa dibentuk oleh para peri yg membantu Sinterklas. Ciri khas yg lain adalah, Sinterklas masuk ke dalam rumah melalui cerobong asap. Sekali lagi, ini ialah dongeng imajinatif, tokoh imajinatif. Karena dongeng tersebut direproduksi, diremix dalam banyak sekali bentuk karya kreatif lain (film, gambar, dongeng dengan banyak sekali versinya), seakan-bakal Sinterklas benar-benar ada. Akhirnya Sinterklas identik dengan agama Kristen.
Padahal, perayaan natal dilakukan oleh pemeluk agama Nasrani untuk memperingati lahirnya Yesus alias Isa alias Mesiah. Sama sekali tidak memperingati Sinterklas apalagi tiruan topi Sinterklas. Bahkan, jubah pun yg identik dengan pakaian Islam timur tengah, juga bukan an sich kebudayaan Islam. Bukan pakaian Islam (saja). Sebelum Islam disebarkan oleh Nabi Muhammad, orang timur tengah sudah menggunakan Jubah, sudah menggunakan sorban.
Di Jawa, ada pakaian berjulukan Sorjan, ada pula Blangkon. Penutup kepala khas Jawa yg identik dengan tokoh penyebar Islam di tanah Jawa, Sunan Kalijaga. Mungkin, orang yg menganggap bahwa pakaian Islam ialah sorban tidak suka menggunakan blangkon. Mungkin juga anti blangkon alasannya ialah dianggap tidak Islami.
yg jelas, sekali lagi tidak perlu diperumit. Jika topi natal alias topi sinterklas ialah bukan kebudayaan Islam dan dihentikan memakainya, mungkin orang Islam di Indonesia dihentikan menggunakan karakter latin alasannya ialah karakter latin, alfabet a hingga z dikenalkan oleh para misionaris Kristen. Jelas, ini ialah kebudayaan Kristen. yg Mudah jangan dipersulit ah. Nanti bisa-bisa tambah ruwet.
Mohon koreksinya dari pembaca yg budiman. Takut ada Keliru fatwa yg membawa kesesatan.
Salam Pustamun!
0 Response to "Topi Natal Dan Kekafiran"