pustamun.blogspot.com - Pilkada DKI Jakarta selalu menjadi sorotan. Masing-masing pasangan calon merupakan tokoh nasional. Selain sebagai percontohan, lokasi yg strategis menciptakan Pilkada DKI Jakarta selalu menjadi pemberitaan di semua media. Media televisi selalu punya segmen untuk Pilkada DKI Jakarta, media daring (situs gosip online) selalu menurunkan gosip wacana Pilkada Jakarta. Begitu pula dengan media massa cetak. Dalam kolom Jakarta, gosip yg diturunkan yaitu gosip pilkadanya.
Ada hal yg menarik berkaitan dengan posisi media dalam pilkada DKI Jakarta. Meskipun masing-masing media menyatakan posisinya netral, tetapi hal itu tidak tampak dalam porsi berita. Misalnya metrotv melalui jaringan gosip baik gosip onlinenya, maupun Media Indonesia selalu berpihak. Porsi pemberitaan untuk pasangan Ahok-Djarot jauh lebih banyak dibanding gosip pasangan calon lain. Selain itu, gosip yg diturunkan oleh Metrotv selalu gosip positif wacana Ahok.
Posisi jaringan media grup (Metrotv dkk.) yg selalu menurunkan gosip positif wacana Ahok dalam Pilkada Jakarta dikarenakan lantaran kepentingan pimpinan Media Grup. Surya Paloh yg juga Ketua Umum Partai Nasinal Demokrat (Nasdem) sekaligus pimpinan Media Grup, tentu bakal memanfaatkan jaringan medianya untuk mendulang bunyi atau setidaknya memuluskan sasaran politiknya.
Apakah tindakan Media Grup (Metrotv dkk.) yaitu tindakan yg Keliru? Tentu tidak, Setiap gosip dan wacana yg ditulis niscaya punya kepentingan. Kebetulan saja, kepentingan Media Grup (Metrotv dkk.) yaitu memenangkan Ahok - Djarot dalam Pilkada DKI Jakarta.
Hal serupa juga dilakukan oleh Jawa Pos untuk membela juragannya. Saat Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Jawa Pos selalu menurunkan gosip dari sudut pandang Dahlan Iskan. Baik dari Dahlan Iskan pribadi, keluarga, maupun para pendukungnya, atau setidaknya dari orang-orang yg bersimpati kepada Dahlan Iskan.
Tindakan Jawa Pos untuk selalu menurunkan gosip wacana donasi terhadap Dahlan Iskan bisa dianggap posisi media tidak netral. Tetapi dalam kasus tertentu masih bisa dibenarkan, lantaran 'membela kebenaran'.
Selain menurunkan gosip dari sudut pandang Dahlan Iskan, Jawa Pos juga menggemborkan gosip wacana kasus yg menyeret-nyeret nama Maruli dalam pusaran kasus korupsi. Maruli yaitu kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Kata-kata Dahlan Iskan yg menyebut dirinya sedang diincar oleh orang yg lagi berkuasa menjadi indikasi kontradiksi dan perseteruan Dahlan Iskan dengan penguasa. Meskipun Jusuf Kalla sebagai orang yg sedang berkuasa dengan Jokowi, menolak jikalau Maksud oleh Dahlan Iskan dalam pernyataan tersebut yaitu Jokowi dan dirinya.
Kedua media ini Jawa Pos Grup dan Media Grup, berada dalam posisi yg tidak sama. Media Grup condong terhadap Ahok, sementara Jawa Pos Grup condong, 'asal bukan Ahok'. Hal ini tampak dalam berita-berita yg diturunkan oleh kedua jaringan media tersebut.
Keberpihakan kedua media tersebut tampak pada pilihan kata yg dipakai dalam judul untuk informasi gosip yg sama. Metrotv dalam teks berjalannya (running text) menurunkan gosip 'Elektabilitas Ahok-Djarot masih unggul'. Untuk gosip hasil survei yg sama, Jawa Pos menurunkan gosip berjudul 'Elektabilitas Ahok Terjun Bebas'.
Dengan pilihan kata 'masih unggul' Metrotv ingin menyampaikan bahwa, pemenang Pilkada DKI Jakarta yaitu Ahok-Djarot. Media ini tidak menggunakan kata penurunan elektabilitas Ahok. Penurunan elektabilitas berMakna ada kemungkinan terus menurun, maka juga ada kemungkinan kalah.
Jawa Pos menggunakan kata 'Terjun Bebas', lebih negatif daripada sekadar kata 'Turun'. Bandingkan saja jikalau judul gosip Pilkada DKI Jakarta berbunyi begini: 'Elektabilitas Ahok Menurun'. Itu judul yg kurang sadis. Judul berit mirip ini hanya dimungkinkan bakal diturunkan oleh media yg benar-benar netral, contohnya TVRI atau RRI yg memang dihentikan memihak sama sekali dalam aktivitas politik.
Jawa Pos berpihak kepada 'Asal Bukan Ahok' mungkin lantaran Ahok dianggap orang yg sedang berkuasa dan sedang didukung oleh partai yg sedang berkuasa pula. Sementara Dahlan Iskan menyampaikan sedang diincar oleh penguasa. Mungkin mereka sedang berseteru.
Entahlah, yg jelas, perbedaan penggunaan pilihan kata saja sudah menyampaikan keberpihakan, selain itu masing-masing kata bisa menyampaikan kekuatan yg sangat dahsyat. Maka, berhati-hatilah berkata. Terlebih dalam situasi Pilkada yg yg memanas, khususnya Pilkada DKI Jakarta, selain memang suasana udara di sana panas, Pilkada yg semakin memanas, juga ditambah adanya pihak tertentu yg diindikasikan ikut memanas-manasi suasana Jakarta. Kaprikornus ingat, sempat ada pula video panas di videotron di Jakarta. hahahaha.
Salam Pustamun!
Kekuatan Kata dalam Pilkada DKI Jakarta |
Posisi jaringan media grup (Metrotv dkk.) yg selalu menurunkan gosip positif wacana Ahok dalam Pilkada Jakarta dikarenakan lantaran kepentingan pimpinan Media Grup. Surya Paloh yg juga Ketua Umum Partai Nasinal Demokrat (Nasdem) sekaligus pimpinan Media Grup, tentu bakal memanfaatkan jaringan medianya untuk mendulang bunyi atau setidaknya memuluskan sasaran politiknya.
Apakah tindakan Media Grup (Metrotv dkk.) yaitu tindakan yg Keliru? Tentu tidak, Setiap gosip dan wacana yg ditulis niscaya punya kepentingan. Kebetulan saja, kepentingan Media Grup (Metrotv dkk.) yaitu memenangkan Ahok - Djarot dalam Pilkada DKI Jakarta.
Hal serupa juga dilakukan oleh Jawa Pos untuk membela juragannya. Saat Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Jawa Pos selalu menurunkan gosip dari sudut pandang Dahlan Iskan. Baik dari Dahlan Iskan pribadi, keluarga, maupun para pendukungnya, atau setidaknya dari orang-orang yg bersimpati kepada Dahlan Iskan.
Tindakan Jawa Pos untuk selalu menurunkan gosip wacana donasi terhadap Dahlan Iskan bisa dianggap posisi media tidak netral. Tetapi dalam kasus tertentu masih bisa dibenarkan, lantaran 'membela kebenaran'.
Selain menurunkan gosip dari sudut pandang Dahlan Iskan, Jawa Pos juga menggemborkan gosip wacana kasus yg menyeret-nyeret nama Maruli dalam pusaran kasus korupsi. Maruli yaitu kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Kata-kata Dahlan Iskan yg menyebut dirinya sedang diincar oleh orang yg lagi berkuasa menjadi indikasi kontradiksi dan perseteruan Dahlan Iskan dengan penguasa. Meskipun Jusuf Kalla sebagai orang yg sedang berkuasa dengan Jokowi, menolak jikalau Maksud oleh Dahlan Iskan dalam pernyataan tersebut yaitu Jokowi dan dirinya.
Kedua media ini Jawa Pos Grup dan Media Grup, berada dalam posisi yg tidak sama. Media Grup condong terhadap Ahok, sementara Jawa Pos Grup condong, 'asal bukan Ahok'. Hal ini tampak dalam berita-berita yg diturunkan oleh kedua jaringan media tersebut.
Keberpihakan kedua media tersebut tampak pada pilihan kata yg dipakai dalam judul untuk informasi gosip yg sama. Metrotv dalam teks berjalannya (running text) menurunkan gosip 'Elektabilitas Ahok-Djarot masih unggul'. Untuk gosip hasil survei yg sama, Jawa Pos menurunkan gosip berjudul 'Elektabilitas Ahok Terjun Bebas'.
Dengan pilihan kata 'masih unggul' Metrotv ingin menyampaikan bahwa, pemenang Pilkada DKI Jakarta yaitu Ahok-Djarot. Media ini tidak menggunakan kata penurunan elektabilitas Ahok. Penurunan elektabilitas berMakna ada kemungkinan terus menurun, maka juga ada kemungkinan kalah.
Jawa Pos menggunakan kata 'Terjun Bebas', lebih negatif daripada sekadar kata 'Turun'. Bandingkan saja jikalau judul gosip Pilkada DKI Jakarta berbunyi begini: 'Elektabilitas Ahok Menurun'. Itu judul yg kurang sadis. Judul berit mirip ini hanya dimungkinkan bakal diturunkan oleh media yg benar-benar netral, contohnya TVRI atau RRI yg memang dihentikan memihak sama sekali dalam aktivitas politik.
Jawa Pos berpihak kepada 'Asal Bukan Ahok' mungkin lantaran Ahok dianggap orang yg sedang berkuasa dan sedang didukung oleh partai yg sedang berkuasa pula. Sementara Dahlan Iskan menyampaikan sedang diincar oleh penguasa. Mungkin mereka sedang berseteru.
Entahlah, yg jelas, perbedaan penggunaan pilihan kata saja sudah menyampaikan keberpihakan, selain itu masing-masing kata bisa menyampaikan kekuatan yg sangat dahsyat. Maka, berhati-hatilah berkata. Terlebih dalam situasi Pilkada yg yg memanas, khususnya Pilkada DKI Jakarta, selain memang suasana udara di sana panas, Pilkada yg semakin memanas, juga ditambah adanya pihak tertentu yg diindikasikan ikut memanas-manasi suasana Jakarta. Kaprikornus ingat, sempat ada pula video panas di videotron di Jakarta. hahahaha.
Salam Pustamun!
0 Response to "Kekuatan Kata Dalam Pilkada Dki Jakarta"