pustamun.blogspot.com – Selain menyukai kajian bahasa, sastra, pendidikan, aku juga menggemari sejarah. Tapi jika urusan buku yg dibaca, tidak sebatas itu saja. Semua jenis buku selama tertarik untuk membaca ya dibaca. Hanya saja, untuk membeli masih pikir-pikir sebab keterbatasan anggaran.
Dulu, waktu masih kuliah sering beli buku sebab hampir selalu mendapatkan beasiswa. Kini, dengan pemasukan ‘hanya’ sebagai guru honorer di Sekolah Menengah Pertama swasta, anggaran untuk membeli buku tidak lagi sanggup dialokasikan. Jadi, meskipun jalan-jalan ke toko buku, tidak pernah beli buku kecuali ada yg sangat murah waktu obral.
Saat masih kuliah dulu, tertarik dengan buku yg berjudul Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius. Penulisnya yaitu Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo. Saya tidak tertarik ekonomi (mungkin sebab itu aku kini sering kesulitan ekonomi), juga tidak pernah mengetahui nama penulis buku tersebut. (Maaf, bukan bermaksud merendahkan yg terhormat Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo). Saya memang tidak pernah kuliah di jurusan ekonomi, jadi ekonom yg aku kenal hanya ‘ekonom kekinian’ yg sering nongol di televisi.
Sebagai orang yg pernah kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, aku mengenal tokoh-tokoh dan ilmuan di bidang bahasa dan sastra. Saya bersahabat dengan buku dan teori yg dikemukakan oleh para bahasawan semisal: Abdul Chaer, Anton Moeljono, dan Alif Danya Munsyi. Juga sering mengutip teori yg disampaikan oleh kritikus sastra semisal H.B Jassin, Rahmad Djoko Pradopo, dan Wellek & Werren. Beberapa penyair ternama juga pernah aku pahami karyanya antara lain, Putu Wijaya, WS Rendra, Mustofa Bisri bin Bisri Mustofa alias Gus Mus, Akhmad Taufiq (Dosen sekaligus sastrawan dari Universitas Jember. Hahaha).
Saya tertarik membeli buku wacana ekonomi dan ditulis oleh Profesor Doktor yg tidak aku kenal sebab catatan kaki di judulnya: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara. Membeli buku hanya sebab ada nama Sjafruddin Prawiranegara di kerterangan judulnya. Konsekuensi keputusan aku membeli buku yg tidak sesuai dengan bidang keilmuan adalah: Buku itu tidak aku baca.
setelah sekitar empat tahun kemudian aku beli, gres hari ini aku membaca buku tersebut. Itupun hanya dibaca judul, sekapur sirih, dan kata pengantarnya. Saya masih belum sanggup membaca (lebih tepatnya belum mau) keseluruhan isi buku. Mungkin suatu Saat bakal aku habiskan buku ini. Bukankah ilmu sanggup didapat dari mana saja. Bukankah mencar ilmu itu dari mahdi hingga ke lahdi.
Sekapur Sirih buku tersebut ditulis oleh A.M Fatwa, ini nama yg juga aku ketahui selain Amir Sjarifuddin. Prakata penulis, tentu ditulis sendiri oleh sang penulis bukur. Kata Pengantar ditulis oleh Fachry Ali. Belakangan nama Fachry Ali aku ketahui juga di program televisi Melawan Lupa episode Hasyim Asyari. Fachry Ali yaitu sejarawan.
Tulisan ini singkat saja mengulas wacana Amir Sjarifuddin, mustahil dibahas keseluruhan. yg terperinci Amir Sjarifuddin yaitu Presiden RI yg Terlupakan. Dia pernah menjabat ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia, menggantikan Presiden Soekarno yg ditangkap Belanda. BerMakna ia (Amir Sjarifuddin) pernah menjabat sebagai presiden.
Amir Sjarifuddin, lulusan Belanda anak Priyayi Sunda. Bapaknya Raden Arsyad Prawiraatmadja yaitu pengurus cabang Sarekat Islam. Jadi, keluarga Amir Sjarifuddin yaitu keluarga Islam. Meskipun tidak pernah mencar ilmu Islam seCaranya formal, ia sanggup masuk ke Masyumi (Partai Islam di zamannya).
Amir Sjarifuddin ditangkap oleh pemerintahan Soekarno sebab terlibat ‘pemberontakan’ oleh PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Baru keluar dari penjara di masa Orde Baru.
Lalu, mengapa Sjarifuddin aku anggap Keliru satu tokoh Indonesia yg gila? Ini alasannya.
Dia anak priyayi banten, kuliah di Belanda, mengikuti organisasi USI yg pro-Belanda. Maka ia bersifat kooperatif dan tidak anti-Belanda. Kawan-kawannya dari Indonesia yg ada di USI ikut partai sosialis sekuler, Amir Sjarifuddin justru ikut partai Islam.
Sjarifuddin pernah menjadi menteri semasa Presiden Soekarno, tetapi juga pernah menjadi tokoh dalam pemberontakan sebab tidak menyetujui kebijakan-kebijakan Soekarno.
Ada lagi alasan bahwa Amir Sjarifuddin pantas disebut gila, Saat menjadi Direktur Bank Sentral, Amir Sjarifuddin merahasiakan keputusan sanering (dikenal dengan istilah Gunting Sjarifuddin). Kebijakan pemotongan nilai mata uang. Kebijakan itu diambil sebab Indonesia mengalami inflasi luar biasa: 650%. Saking gilanya, ia juga merahasiakan kebijakannya itu kepada anak-istrinya. Akibatnya: Amir Sjarifuddin Musti meminjam uang kepada kementerian keuangan untuk memenuhi keperluan hidup keluarga. Gila!
0 Response to "Banyak Tokoh Abnormal Di Negeri Ini, Amir Sjafruddin Keliru Satunya"