Latest News

Sastra Dan Intelejen | Intervensi Cia Dalam Sastra Dan Kebudayaan

Saya hanya ‘mengamati’ perkembangan sastra Indonesia dari dingklik kuliah. Lebih sempit lagi, hanya dari mata kuliah sejarah sastra. Lebih sempit lagi, gres paruh kedua mata kuliah tersebut sanggup sedikit mengerti maksud perkuliahannya. Parah. Memang sangat parah.

Memang sih, sudah semenjak itu (saat kuliah sejarah satra plus ditambah mata kuliah wacana) saya mengetahui bahwa tidak ada wacana yg netral. Termasuk wacana sastra. Semua karya membawa ide.

Sastra dan Kaitannya dengan Intelejen AS
Sudah empat tahun-an saya mengerti itu. Mengerti bahwa ada kepentingan di luar sastra yg merasuki dunia sastra. Tetapi, cukup tercengang juga Saat membaca ulasan yg ditulis oleh  Mari Von  Aue di situs www.vice.com (https://www.vice.com/id_id/Maknacle/metode-cia-menyusupi-kancah-sastra-dunia-dibongkar). 

Tautan alias pranala itu saya dapatkan dari sobat facebook pemilik tokoh Kang Sabar. Dia membagikan pranala tersebut sambil memperlihatkan catatan (caption)  "Sampeyan masih berpikir dunia hanya selebar daun kelor, Kang?" lempar Kang Sabar di ujung lintasan.


Dalam goresan pena di vice.com Indonesia itu, dijelaskan bahwa distributor intelejen Amerika Serikat (CIA) menggelar operasi di seluruh penjuru dunia. Khususnya Saat perang hambar berlangsung, CIA memengaruhi penulis-penulis di negara-negara lain supaya memperlihatkan gambaran aktual AS. yg disasar yaitu negara-negara penganut komunis atau yg ada komunisnya.

Penulis di negara-negara komunis didanai oleh CIA supaya menampilkan sisi aktual Amerika. Penulis yg terlibat tidak sepenuhnya sadar telah menjadi ‘agen’ CIA di bidang kebudayaan, khususnya kesusastraan. Tidak hanya membantu dana penerbitannya, tetapi juga membantu ‘mengolah’ isu. Jadi, selain melalui karya sastra juga melalui diskursus-diskursus sastra.

Saat membaca Maknakel tersebut, saya jadi ingat mata kuliah di kampus. Memang bukan jurusan sastra, melainkan jadwal studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Tempat kuliah calon guru bahasa Indonesia. Mata kuliah yg diampu oleh Dr. Akhmad Taufiq (waktu itu belum doktor).

Lahirnya sastra Indonesia modern ditandai dengan dibentuknya Balai Pustaka oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1920. Balai Pustaka menerbitkan karya sastra yg ‘pro’ penejajahan. Roman yg paling populer zaman itu yaitu Sitti Nurbaya. Dalam novel tersebut ada tokoh Datuk Meringgih, lelaki bau tanah rentenir yg menukar piutangnya dengan gadis anggun berjulukan Sitti Nurbaya. Tokoh antogonis. Dalam novel tersebut juga disebutkan bahwa Datuk Meringgih yaitu seorang pemberontak. Dalam perspektif bangsa Indonesia, seharusnya Datuk Meringgih disebut ‘Pejuang’. Itulah kekuatan sastra. Tak heran, CIA juga menggunakannya sebagai ‘senjata’ dalam peperangan ideologi dunia.

Sejak kuliah dan mengetahui adanya geger sastra antara sastrawan Lekra dan Manikebu. Sejak kuliah juga saya berada pada posisi netral (maksudnya tidak mendukung Lekra tetapi juga tidak anti-Lekra). Meskipun kenetralan saya tidak berMakna apa-apa. Toh insiden itu sudah terjadi pada 1960-an.

Pada Saat itu, Lekra punya jargon sangar Seni untuk Rakyat, sementara kelompok yg berseberangan punya pandangan bahwa Seni untuk Seni. Kelompok anti-Lekra ini yg mengeluarkan Manifes Kebudayaan. Kelompoknya kemudian disebut Manikebu.

Pertentangan antara sastrawan Lekra dan Manikebu terjadi pada 1960-an. Waktu yg sama menurut fakta yg ditulis oleh Fink, bahwa CCF (Badan bentukan CIA), melakukan operasi intelejen di bidang Kebudayaan getol beroprasi pada 1960 – 1970-an.

Sebelum membaca Maknakel pada vice.com tersebut, saya menduga yg ditunggangi yaitu Lekra saja. Jelas, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) merupakan sayap organisasi kebudayaan milik Partai Komunis Indonesia. Pasti Lekra didanai PKI, niscaya juga ada hubungannya dengan Uni Soviet kala itu. Pikir saya Saat kuliah.

Eh, tibake, Manikebu juga ‘mungkin’ dimanfaatkan oleh CIA. Amerika Serikat, melalui CIA-nya sedang perang dingin, perang pengaruh, perang ideologi dengan Uni Soviet. Indonesia, niscaya juga menjadi medan pertempuran mereka. Otomatis, agen-agen rahasianya juga.

Posisi saya setelah membaca Maknakel penelitian keterlibatan sastrawan sebagai distributor CIA, menambah kenetralan saya. Sekali  lagi, netral tidaknya saya yaitu sesuatu yg tidak penting. Untuk mengetahui isi Komplit Maknakelnya silahkan kunjungi alamat situs yg sudah saya tulis di depan.

yg menjadi penting lagi adalah, mengapa CIA hingga maunya repot-repot menyusup ke dunia kebudayaan dan kesastraan. Waktu itu (1960-an), bacaan dan sumber informasi masyarakat dunia yaitu melalui karya sastra.

Karya sastra yaitu hiburan bagi mereka yg berdampak massif. Juga menjadi senjata yg ampuh alasannya yaitu pembacanya (mungkin juga penulisnya) tidak sadar Jika tempatnya menjadi medan pertempuran. Bacaan yg sedang dibaca juga merupakan senjata. Karena merasa tidak diajak seCaranya langsung, propaganda melalui sastra menjadi sangat efektif. Orang menjadi terpengaruh dengan sangat Mudah dan ‘seolah-oleh’ sadar. Padahal sebetulnya sedang dihipnotis oleh propaganda yg sangat besar.

Apakah kini sudah tidak ada operasi intelejen di bidang sastra? Jawabanny: Saya tidak tahu. Tetapi ada kemungkinan operasi intelejen dalam bidang sastra masih berlanjut. Bukan hanya CIA, tetapi juga agen-agen intelejen lainnya (mungkin juga BIN. Hehehe).

Tetapi yg dijadikan ‘senjata’ bukan sebatas karya sastra dan penulisnya. Jika dulu (1960-an) para penulisnya juga ‘terlibat’ sebagai agen, mungkin kini penulis tidak direkrut menjadi agen, melainkan menjadi target operasi. Rasanya tidak mendukung kebijakan (katakanlah) Amerika Serikat, tetapi karean informasi yg diterima yaitu yg menguntungkan Amerika Serikat, maka karyanya juga ‘dengan tidak sadar’ memperlihatkan gambaran aktual Amerika Serikat.

Kini masyarakat dunia tidak lagi sanggup dengan masif dipengaruhi melalui karya sastra, alasannya yaitu pembacanya yg ‘sedikit’ dibanding para pembaca media sosial. Mungkin kini intelejen besar dunia sedang bertarung di dunia maya. Coba saja lihat, informasi dan video viral di jagat dunia maya yaitu ‘hal-hal tidak penting’.

Hal viral di jagat dunia maya yg saya ingat antara lain: gangnam style; Messi dari Afganistan; PPAP; dan Om Telolet Om. Saya jadi mencurigai, viral-nya hal-hal tersebut yaitu sebuah operasi intelejen tingkat tinggi.  Hal-hal itu (kecuali kostum Messi dari Afganistan) yaitu sesuatu yg ‘tidak penting’.

Gangnam Style, ya hanya joget-joget. Begitu pula dengan PPAP. yg lebih tidak penting yaitu om telolet om. Tanda tanya besar dalam diri saya. Om Telolet Om jadi viral dunia. Pentingnya apa...

Saya berpendapat, itu yaitu kerja intelejen untuk mengalihkan isu penting. Bukankah itu lebih mudah. Tidak sesulit mengalihkan isu melalui sastra yg Musti menguasai penulis, editor, dan penerbitannya. Cukup kuasai pemilik internet, angkat isu yg ingin di-booming-kan. Cukup dengan alogaritma situs media sosial. Jadilah! Jadi.

Masihkan sastra bersifat katharsis alias menyucikan Jika sudah disusupi kepentingan intelejen? Bahkan ada penulis yg menjadi agen. Entahlah....


(*mun/ Sebenarnya saya tidak cukup mengerti ini goresan pena perihal apa)

0 Response to "Sastra Dan Intelejen | Intervensi Cia Dalam Sastra Dan Kebudayaan"

Total Pageviews