Latest News

Penelitian Etnografi

PENELITIAN ETNOGRAFI
A.  Pengertian Penelitian Etnografi, Penggunaan, dan Perkembangannya
1.  Pengertian penelitian etnografi
          Metode penelitian etnografi termasuk dalam metode penelitian kualitatif. Kata etnografi berasal dari kata-kata Yunani ethos yang artinya suku bangsa dan graphos yang artinya sesuatu yang ditulis. Menurut Emzir (2012:18) etnografi ialah ilmu penulisan wacana suku bangsa, memakai bahasa yang lebih kontemporer, Etnografi sanggup diartikan sebagai penulisan wacana kelompok budaya. Menurut Ary, dkk (2010:459) etnografi ialah studi mendalam wacana sikap alami dalam sebuah budaya atau seluruh kelompok sosial.
          Menurut Creswell (2012:462) Ethnographic designs are qualitative research procedures for describing, analyzing, and interpreting a culture-sharing group’s shared patterns of behavior, beliefs, and language that develop over time. Metode etnografi ialah mekanisme penelitian kualitatif untuk menggambarkan, menganalisa, dan menafsirkan unsur-unsur dari sebuah kelompok budaya menyerupai pola perilaku, kepercayaan, dan bahasa yang berkembang dari waktu ke waktu. Fokus dari penelitian ini ialah budaya. Budaya sendiri berdasarkan LeCompte  dkk (dalam Creswell, 2012:462) ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan sikap insan dan keyakinan. Termasuk di dalamnya ialah bahasa, ritual, ekonomi, dan struktur politik, tahapan kehidupan, interaksi, dan gaya komunikasi.
Jadi bisa disimpulkan penelitian etnografi ialah penelitian kualitatif yang meneliti kehidupan suatu kelompok/masyarakat secara ilmiah yang bertujuan untuk mempelajari, mendeskripsikan, menganalisia, dan menafsirkan pola budaya suatu kelompok tersebut dalam hal perilaku, kepercayaan, bahasa, dan pandangan yang dianut bersama.
2.  Penggunaan penelitian etnografi
Creswell (2012: 462) menjelaskan bahwa seseorang melaksanakan penelitian etnografi ketika penelitian kelompok tersebut bisa memberikan pemahaman wacana duduk kasus yang luas. Seseorang melaksanakan etnografi ketika memiliki kelompok untuk berguru mengembangkan budaya dan telah tolong-menolong selama beberapa waktu dan mengembangkan nilai-nilai kebersamaan, kepercayaan, dan bahasa. Orang tersebut bakal menangkap hukum sikap menyerupai ketika guru melaksanakan hubungan informal berkumpul di kawasan favorit untuk bersosialisasi (Pajak & Blase dalam Creswell, 2012: 462).
Etnografi mampu menawarkan informasi rinci wacana aktivitas sehari-hari, contohnya menyerupai pemikiran dan kegiatan komite untuk mencari kepala sekolah gres (Wolcot, dalam Creswell, 2012:462) . Ketika melaksanakan peneltian etnografi, peneliti memiliki saluran jangka panjang untuk mengembangkan budaya dalam kelompok sehingga sanggup membuat catatan rinci wacana sikap dan keyakinan anggota kelompok dari waktu ke waktu.
3.  Sejarah perkembangan penelitian etnografi
Etnografi yang dipraktekkan di dalam dunia pendidikan telah dibuat oleh antropologi budaya, dengan penitikberatan pada isu-isu terkait dengan penulisan budaya, dan bagaimana laporan-laporan etnografis perlu dibaca dan dipahami ketika ini. Faktor-faktor ini merupakan jantung bagi pemahaman praktek-praktek terkini dalam etnografi (Bogdan & Biklen, 1998: Denzin, 1997: LeCompte et al., 1993: Walcott, 1999, dalam Creswell, 2012:462).
Akar dari etnografi pendidikan terletak pada antropologi budaya. Pada penghujung  kurun 19 dan awal kurun 20, para antropolog mengkaji budaya-budaya “primitif” melalui kunjungan-kunjungan ke negara-negara lain dan bergumul dengan masyarakatnya untuk periode waktu yang lama. Mereka menghindarkan diri dari  “menjadi natif “ (penduduk asli) dan mengidentifikasikan diri mereka secara dekat sekali dengan  orang-orang yang mereka teliti sehingga mereka bisa menulis sebuah kisah yang “objektif” wacana apa yang mereka lihat dan dengar. Pada waktu-waktu tertentu, kisah-kisah ini dibandingkan dengan budaya-budaya lain yang jauh di benua lain, terutama dengan cara-cara hidup orang Amerika. Contoh, Margareth Mead, seorang antropolog terkemuka, mengkaji pengasuhan anak, remaja, dan dampak budaya terhadap kepribadian di Samoa (Mead, dalam Creswell, 2012:463).
Observasi dan wawancara menjadi mekanisme standar dalam pengumpulan data  “di lapangan”. Para sosiolog di Universitas Chicago pada tahun 1920-an hingga 1950-an, melakukan penelitian yang difokuskan pada pentingnya penelitian wacana masalah tunggal – apakah kasusnya wacana seseorang individu, kelompok, tetangga, atau unit budaya yang lebih besar.
Bidang kajian antropologi pendidikan interdisiplin yang masih awal ini mulai mengkristal selama tahun 1950-an dan berlanjut hingga tahun 1980-an (LeCompte dkk, dalam Creswell, 2012:463). Para antropolog pendidikan memfokuskan diri mereka pada sub  kelompok budaya, seperti:
a.  Kisah perjalanan karir dan kehidupan atau analisis tugas individu;
b.  Microetnografis wacana kelompok-kelompok kerja dan kelompok-kelompok hobi dalam skala kecil;
c.   Kajian-kajian terhadap kelas-kelas tunggal yang diabstraksikan sebagai masyarakat-mayarakat dalam kelompok kecil;
d.  Kajian-kajian terhadap fasilitas-fasilitas sekolah atau fasilitas-fasilitas dinas pendidikan yang mendekati unit-unit ini sebagai sebuah masyarakat yang diskrit (terpisah) (LeCompte dkk, dalam Creswell, 2012:463).
Dalam penelitian menyerupai ini, para etnografer pendidikan mengembangkan dan memperhalus prosedur-prosedur yang dipinjam dari antropologi dan sosiologi. Dari tahun 1980-an hingga remaja ini, para antropolog dan antropolog pendidikan telah mengidentifikasi teknik-teknik guna menawarkan fokus terhadap  kelompok budaya, melaksanakan observasi, menganalisis data, dan menuliskan laporan penelitian.
Peristiwa yang membatasi etnografi, berdasarkan Denzin (dalam Creswell, 2012:463), ialah publikasi buku yang berjudul Writing Culture  (Clifford & Marcus, 1986).  Para etnografer telah “menulis dengan cara mereka sendiri”  (Denzin, 1997, halaman xvii) sejak itu sesuai dengan isi buku tersebut. Clifford an Marcus mengangkat dua buah isu yang sangat menggugah minat banyak orang terhadap etnografi pada umumnya dan dalam bidang penelitian pendidikan. Pertama terkait dengan krisis representasi. Krisis ini terdiri dari penilaian kembali wacana bagaimana para etnografer menawarkan interpretasi terhadap kelompok-kelompok yang mereka teliti. Denzin berargumetasi bahwa kita tidak bisa lagi melihat si peneliti sebagai reporter yang objektif yang membuat pernyataan-pernyataan yang bersifat omnipresent (hadir di mana-mana) wacana individu-individu yang ia teliti. Sebaliknya, si peneliti hanyalah merupakan satu bunyi dari banyak bunyi – individu-individu menyerupai si pembaca, para partisipan, dan gate-keeper (para penjaga) – yang perlu didengar. Ini memicu krisis kedua: legitimasi. “Dalih-dalih” validitas, reliabilitas dan objektivitas dari “normal science” tidak lagi bisa mewakili standar. Para peneliti perlu mengevaluasi masing-masing penelitian etnografis dalam batas-batas standar yang fleksibel yang menempel pada kehidupan para partisipan, pengaruh-pengaruh kesejarahan dan budaya; dan kekuatan-kekuatan interaktif bersumber ras, gender, dan kelas.
Ditilik dari sisi ini, etnografi perlu memasukkan perspektif yang diramu dari pemikiran-pemikiran feministis, pandangan-pandangan berbasis ras, perspektif seks, dan teori kritis, dan sensitif terhadap ras, kelas, dan gender. Etnografi remaja ini menjadi “messy” (carut marut) dan hasilnya menampilkan diri dalam banyak sekali bentuk menyerupai (seni) pertunjukan, puisi, drama, novel, atau narasi pribadi (Denzin dalam Creswell, 2012:463).

B. Jenis-jenis Desain Etnografi
Menurut Creswell (2012: 464) penelitian etnografi memiliki bermacam-macam bentuk. Akan tetapi, jenis utama yang sering muncul dalam laporan-laporan penelitian pendidikan ialah etnografi realis, studi kasus, dan etnografi kritis


1.  Etnografi Realis
Etnografi realis ialah pendekatan yang terkenal dipakai oleh para antropolog budaya. Dijelaskan oleh  Van Maanen dalam Creswell (2012: 464) etnografi merefleksikan sikap tertentu yang diambil oleh peneliti terhadap individu yang sedang dipelajari. Etnografi realis ialah pandangan obyektif terhadap situasi, biasanya ditulis dalam sudut pandang orang ketiga, melaporkan secara obyektif mengenai informasi yang dipelajari dari para obyek penelitian di lokasi (Creswell, 2012:464). Dalam etnografi realis ini:
a.    Etnografer  menceritakan penelitian dari sudut pandang orang ketiga, laporan pengamatan partisipan, dan pandangan mereka. Etnografer tidak menuliskan pendapat pribadinya dalam laporan penelitian dan tetap berada di diam-diam sebagai reporter yang meliput wacana fakta-fakta yang ada.
b.    Peneliti melaporkan data objektif dalam sebuah bentuk informasi yang terukur, tidak tercemar oleh bias, tujuan politik, dan penilaian pribadi. Peneliti sanggup menggambarkan kehidupan sehari-hari secara detail antara orang-orang yang diteliti. Etnografer juga memakai kategori standar untuk deskripsi budaya (contohnya kehidupan keluarga, kehidupan kerja, jaringan sosial, dan sistem status).
c.    Etnografer menghasilkan pandangan partisipan melalui kutipan yang diedit tanpa merubah makna dan memiliki kesimpulan berupa interpretasi dan penyajian budaya (Van Maanen dalam Creswell, 2012: 464).
2.  Studi Kasus
Istilah studi kasus sering digunakan dalam hubungannya dengan etnografi. Studi masalah merupakan salah satu belahan penting dari etnografi, meskipun berbeda dari etnografi dalam beberapa hal tertentu. Peneliti studi masalah terfokus pada program, kejadian, atau kegiatan yang melibatkan individu dan bukan merupakan kelompok (Stake dalam Creswell, 2012: 465). Saat peneliti melaksanakan penelitian kelompok, mereka mungkin lebih tertarik dalam menggambarkan kegiatan kelompok bukannya mengidentifikasi pola-pola sikap yang ditunjukkan oleh kelompok. Para etnografer bersama-sama melaksanakan pencarian yang berkembang sebagai sebuah kelompok yang berinteraksi dari waktu ke waktu. Di awal penelitiannya, peneliti cenderung mengidentifikasi tema budaya. Salah satu perhatian utamanya adalah antropologi, namun  mereka hanya terfokus pada eksplorasi mendalam dari "kasus" yang bahwasanya (Yin dalam Creswell, 2012: 465).
Meskipun beberapa peneliti mengidentifikasi "kasus" sebagai objek studi (Stake dalam Creswell,2012:465), yang lain menganggapnya sebagai suatu mekanisme penyelidikan (contohnya, Merriam, 1998). Studi masalah merupakan eksplorasi mendalam wacana sistem terbatas (contohnya, kegiatan, acara, proses, atau individu) berdasarkan pengumpulan data luas (Creswell, 2007). Bounded berarti bahwa masalah tersebut terpisah dari hal-hal lain dalam hal waktu, tempat, atau batas-batas fisik. Dengan demikian, hasil penelitian yang diperoleh hanya berlaku bagi obyek yang diteliti dan tidak sanggup digeneralisasi pada obyek yang lain meskipun masih sejenis.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam menentukan jenis kasus yang bakal dipelajari dalam penelitian kualitatif, antara lain:
a.  Apakah masalah tersebut dialami oleh satu individu, beberapa individu secara terpisah atau dalam kelompok, program, kegiatan, atau kegiatan (contohnya, guru, beberapa guru, atau penerapan jadwal matematika baru).
b.  “Kasus” tersebut merupakan proses yang terdiri dari serangkaian langkah-langkah (contohnya, proses kurikulum akademi tinggi) yang membentuk suatu urutan kegiatan.
c.   Sebuah masalah dipilih untuk diteliti lantaran itu sesuatu yang tidak biasa dan memberi manfaat, berikut ini pembagiannya :
1)  Kasus intrinsik (intrinsic case), apabila masalah yang dipelajari secara mendalam mengandung hal-hal menarik untuk dipelajari berasal dari masalah itu sendiri, atau sanggup dikatakan mengandung minat intrinsik.
2)  Kasus instrumental (instrumental case), apabila masalah yang dipelajari secara mendalam lantaran hasilnya bakal dipergunakan untuk memperbaiki atau menyempurnakan teori yang telah ada atau untuk menyusun teori baru. Hal ini sanggup dikatakan studi masalah instrumental, minat untuk mempelajarinya berada di luar kasusnya atau minat eksternal (external interest).
3)  Kasus kolektif (collective case), ialah dimana beberapa masalah dijelaskan dan dibandingkan dengan menawarkan wawasan wacana masalah. Sebuah studi masalah peneliti mungkin menilik beberapa sekolah untuk menggambarkan pendekatan alternatif untuk pilihan sekolah bagi siswa.
4)  Peneliti berusaha untuk mengembangkan pemahaman mendalam wacana masalah dengan mengumpulkan banyak sekali bentuk data (misal, gambar, kliping, video, dan e-mail). Penjelasan tersebut menawarkan pemahaman yang mendalam wacana beberapa syarat masalah yang baik untuk dipelajari, hal tersebut lantaran peneliti memiliki keterbatasan waktu untuk mengabdikan serta menjelajahi kedalaman sebuah masalah yang bakal diteliti.
5)  Peneliti juga memandang masalah dalam konteks lebih luas, menyerupai geografi, politik, sosial, atau ekonomi (misal, konstelasi keluarga yang terdiri dari kakek-nenek, saudara kandung, dan mengadopsi anggota keluarga).





3.  Etnografi Kritis
Etnografi kritis ialah jenis penelitian etnografi di mana penulis tertarik memperjuangkan emansipasi kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat  (Thomas dalam Creswell, 2012: 467). Peneliti kritis biasanya berfikir dan mencari melalui penelitian mereka, melaksanakan advokasi terhadap ketimpangan dan dominasi (Carspecken & Apple dalam Creswell, 2012: 467). Sebagai contoh, jago etnografi kritis meneliti sekolah yang menyediakan akomodasi untuk  siswa tertentu, membuat situasi yang tidak adil di antara anggota kelas sosial yang berbeda, dan membiarkan diskriminasi gender.
Komponen utama dari etnografi kritis ialah faktor-faktor menyerupai nilai-sarat orientasi, memberdayakan masyarakat dengan menawarkan kewenangan yang lebih, menantang status quo, dan kekhawatiran wacana kekuasaan dan kontrol (Madison dalam Creswell, 2012: 467). Faktor-faktor tersebut antara lain
a.  Menyelidiki wacana duduk kasus sosial kekuasaan, pemberdayaan, ketidaksetaraan, ketidakadilan, dominasi, represi, hegemoni, dan korban.
b.  Para peneliti melaksanakan etnografi kritis sehingga penelitian mereka tidak semakin meminggirkan individu yang sedang dipelajari. Dengan demikian, para penanya berkolaborasi, aktif  berpartisipasi, dan bekerjasama dalam penulisan laporan akhir. Para peneliti etnografi kritis diharapkan untuk berhati-hati dalam memasuki dan meninggalkan tempat penelitian, serta menawarkan feed back.
c.   Para peneliti etnografi memberikan pemahaman secara sadar, mengakui bahwa interpretasi mencerminkan sejarah dan budaya kita sendiri. Interpretasi sanggup hanya bersifat sementara dan tergantung bagaimana partisipan bakal melihatnya.
d.  Peneliti kritis memposisikan diri dan sadar bakal tugas mereka dalam penulisan laporan penelitian.
e.  Posisi ini tidak netral bagi peneliti kritis, hal ini berarti bahwa etnografi kritis bakal menjadi pembela perubahan untuk membantu mengubah masyarakat kita sehingga tidak ada lagi yang tertindas dan terpinggirkan.
f.              Pada akhirnya, laporan etnografi kritis bakal menjadi berantakan, multilevel, multimetode pendekatan untuk penyelidikan, penuh kontradiksi, tak terpikirkan, dan ketegangan (Denzin, dalam Creswell, 2012: 467).










C. KARAKTERISTIK PENELITIAN ETNOGRAFI
Menurut Creswell (2012:468) beberapa aksara  yang bisa menggambarkan penelititan etnografi, diantaranya yaitu tema budaya, kelompok mengembangkan budaya, pola sikap bersama, keyakinan dan bahasa, penelitian lapangan, keterangan atau pengaturan, dan refleksi peneliti
1.  Tema budaya
Etnografer biasanya mempelajari tema budaya yang berasal dari antropologi budaya. Etnografer tidak berani meneliti sembarangan apa yang mereka lihat. Sebaliknya, mereka tertarik menambah pengetahuan wacana budaya dan mempelajari tema spesifik dari budaya tertentu.Tema budaya dalam etnografi bersifat umum dan tidak dimaksudkan untuk mempersempit penelitian, sebaliknya menjadi lensa yang memperluas pandangan peneliti pada ketika awal memasuki lapangan untuk mempelajari kelompok, dan mereka mencari manifestasi dari hal tersebut.
Tema-tema budaya sanggup ditemukan dari teks-teks pengantar antropologi budaya (Wolcott dalam Creswell, 2012: 468), menemukan melalui kamus konsep antropologi budaya dan pendekatan lain ialah untuk menemukan tema budaya dalam studi etnografi dalam pendidikan. Biasanya penulis mengumumkannya dalam judul atau pada awal laporan penelitian.
2.  Kelompok budaya (culture sharing group)
Etnografer mempelajari kelompok budaya di satu lokasi. Dalam mempelajari suatu kelompok, etnografer mengidentifikasi satu situs (contohnya, ruang kelas SD), mencari kelompok di dalamnya (contohnya, kelompok membaca), dan mengumpulkan data wacana kelompok (contohnya, mengamati saat kegiatan membaca). Ini membedakan etnografi dari bentuk-bentuk penelitian kualitatif lainnya (contohnya, penelitian narasi) yang berfokus pada individu, bukan kelompok. Sebuah kelompok budaya dalam etnografi ialah dua atau lebih individu yang telah mengembangkan perilaku, keyakinan, dan bahasa.
Kelompok-kelompok menyerupai ini biasanya memiliki karakteristik tertentu. Sebuah kelompok sanggup bervariasi dalam ukuran, tetapi individu-individu dalam kelompok perlu bertemu secara teratur dan berinteraksi selama periode waktu (contohnya, 2 ahad hingga 4 bulan) untuk mengembangkan pola-pola berperilaku, berpikir, atau berbicara. .Kelompok ini sering mewakili kelompok yang lebih besar, menyerupai kelompok membaca dalam kelas kelas tiga.
Seringkali, jago etnografi mempelajari kelompok yang absurd bagi mereka untuk bisa melihat mereka dalam cara yang  “segar” dan berbeda, seperti mereka sangat luar biasa dan unik" (LeCompte dkk, dalam Creswell, 2012:469).
3.  Kepemilikan bersama atas pola-pola tingkah laku, keyakinan, dan bahasa
Etnografer mencari pola tingkah laku, keyakinan, dan bahasa dari suatu kelompok yang telah  mengadopsi suatu budaya dari waktu ke waktu. Tujuan untuk menemukan pola-pola tingkah laku, keyakinan, dan bahasa yang dimiliki bersama ini mengimplikasikan dua poin penting. Pertama, kelompok yang diteliti harus memiliki/menganut pola-pola bersama yang sanggup dideteksi oleh peneliti. Kedua, setiap anggota kelompok yang diteliti sama-sama mengadopsi setiap tingkah laku, keyakinan, dan bahasa maupun kombinasi ketiga unsur itu. Pola tersebut dalam etnografi terdiri atas interaksi sosial yang cenderung tetap sebagai hukum yang dipahami dan merupakan tujuan bersama, dan salah satu dari kombinasi dari tingkah laku, keyakinan, dan bahasa.
a)  Tingkah laku   : tindakan yang dilakukan oleh seorang individu dalam  sebuah kelompok/latar kultural.
b)  Keyakinan       : bagaimana individu berfikir wacana atau memahami sesuatu dalam sebuah latar kultural
c)  Bahasa            :       bahasa dalam etnogafi merujuk pada bagaimana individu berbicara dengan orang lain dalam sebuah latar cultural

4.  Penelitian lapangan (fieldwork)
Etnografer mengumpulkan data dengan menghabiskan waktu di tempat di mana mereka tinggal, bekerja, atau bermain. Untuk memahami pola terbaik dari suatu kelompok budaya, etnografer menghabiskan waktu yang cukup usang dengan kelompok tersebut. Pola-pola tersebut tidak sanggup dengan gampang dilihat melalui kuesioner atau dengan pertemuan singkat. Sebaliknya, etnografer pergi "ke lapangan," tinggal bersama atau sering mengunjungi orang-orang yang sedang dipelajari, dan perlahan-lahan berguru cara-cara budaya di mana kelompok berperilaku atau berpikir. Lapangan” (field) dalam etnografi berarti bahwa peneliti mengumpulkan data dalam lingkungan di mana partisipan berada dan di mana pola-pola budaya sanggup dipelajari. Data-data yang dikumpulkan etnografer dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu:

a)  Data Emic
Informasi yang diberikan eksklusif oleh para partisipan. Data ini sering disebut sebagai konsep-konsep tingkat pertama, yang berbentuk bahasa lokal, pemikiran-pemikiran, cara-cara berekspresi yang dimiliki/digunakan secara tolong-menolong oleh para partisipan (Schwandt dalam  Creswell, 2012:471)
b)  Data Etic                    
Informasi berbentuk interpretasi peneliti yang dibuat sesuai dengan perspektif para partisipan. Data ini sering disebut sebagai konsep-konsep tingkat kedua, yaitu ungkapan-ungkapan atau terminologi yang dibuat peneliti untuk menyatakan fenomena yang sama dengan yang diungkapkan para partisipan (Schwandt dalam  Creswell, 2012:471).
c)  Data Negoisasi        
            informasi yang disetujui bersama oleh para partisipan dan peneliti untuk dipakai dalam penelitian. Negoisasi sanggup terjadi dalam tahapan yang berbeda-beda selama pelaksanaan penelitian, menyerupai ketika menyetujui mekanisme memasuki lokasi penelitian, saling menghormati, dan mengembangkan planning untuk menawarkan informasi kembali.
     Selama berlangsungnya penelitian lapangan, etnografer memakai banyak sekali teknik untuk mengumpulkan data. Tabel 14.3, yang merupakan daftar komposit dari LeCompte dan Schensul (1999) dan Wolcott (2008), menampilkan bentuk pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif. Teknik observasi dan wawancara terstruktur terkenal di kalangan jago etnografi.
5.  Deskripsi, Tema, dan Interpretasi
Peneliti etnografi mendeskripsikan dan menganalisis kelompok budaya dan membuat interpretasi wacana pola dari segala yang dilihat dan didengar. Selama pengumpulan data, etnografer mulai membentuk sebuah penelitian. Kegiatan ini terdiri dari menganalisis data untuk deskripsi dari individu dan kawasan kelompok budaya, menganalisa pola perilaku, keyakinan, dan bahasa, dan mencapai beberapa kesimpulan wacana makna dari mempelajari orang-orang dan lokasi/tempat (Wolcott, dalam Creswell, 2012:472).
Dalam etnografi deskripsi diartikan sebagai uraian terperinci wacana individu-individu atau lapangan penelitian yang dipakai untuk menggambarkan fenomena yang terjadi pada kelompok yang diteliti. Deskripsi tersebut harus terperinci dan menyeluruh. Deskripsi harus bisa menggugah seluruh indera pembaca sehingga mereka merasa seolah-olah hadir di lapangan penelitian dan berinteraksi dengan para partisipan..
Perbedaan antara deskripsi dan tema kadang kadang sulit dibuat. Yang sanggup dijadikan untuk menentukan tema ialah bahwa tema dihasilkan dari interpretasi atas fakta-fakta wacana orang dan aktivitas. Manfaat tema ialah untuk membuat informasi atau fakta bermakna. Dalam etnografi, tema-tema yang dihasilkan selalu mengungkapkan pola-pola tingkah laku, pikiran, atau bahasa yang dimiliki secara tolong-menolong oleh para partisipan.
Interpretasi dalam etnografi yaitu etnografer menarik kesimpulan wacana apa yang telah dipelajari. Fase analisis ialah yang paling subjektif. Peneliti terkait  dengan diskripsi dan tema dari apa yang telah dipelajari, yang sering merefleksikan beberapa kombinasi dari peneliti untuk membuat penilaian pribadi, kembali ke literatur wacana tema budaya, dan menjadikan pertanyaan lebih lanjut berdasarkan data . Hal ini juga mungkin termasuk dalam hal menangani duduk kasus yang muncul selama kerja lapangan yang membuat hipotesa sementara.
6.  Konteks atau Pengaturan
Peneliti menyajikan deskripsi, tema, dan interpretasi dalam konteks atau dari kelompok budaya. Konteks dalam etnografi ialah pengaturan, situasi, atau lingkungan yang mengelilingi kelompok/budaya yang dipelajari. Hal ini berlapis-lapis dan saling terkait, yang terdiri dari faktor-faktor menyerupai sejarah, agama, budaya, politik, ekonomi, dan lingkungan (Fetterman dalam Creswell, 2012: 473). Konteks juga bisa berupa lokasi fisik (seperti sebuah sekolah, keadaan gedung, warna dinding kelas, atau bunyi yang ada), sejarah menyerupai pengalaman yang berkesan, kondisi kepribadian seseorang, dan kondisi sosial individu menyerupai profesi, pendapatan, mobilitas geografis.Kondisi ekonomi juga sanggup meliputi tingkat pendapatan, kelas pekerja, atau sistem pendanaan seseorang.
7.  Refleksi Peneliti
Dalam etnografi, refleksivitas merujuk pada kesadaran dan keterbukaan peneliti untuk membahas bagaimana ia sanggup menjalankan kiprahnya sambil tetap menghargai dan menghormati lapangan dan para partisipan. Karena penelitian etnografi menuntut peneliti tinggal dalam jangka waktu yang relatif usang di lapangan, peneliti harus memikirkan dampaknya terhadap lapangan dan para partisipan. Itulah sebabnya mengapa peneliti harus bernegoisasi dengan orang-orang penting di lapangan ketika bakal memasuki lapangan itu. Dalam penulisan laporan, peneliti juga menyadari bahwa interpretasi yang dibuatnya dipengaruhi oleh latar belakang budayanya sendiri sehingga interpretasi dan kesimpulannya bersifat tentatif sehingga tetap terbuka untuk didiskusikan kembali. Oleh lantaran itu, dalam laporan itu peneliti perlu memperlihatkan posisi dan sudut pandang yang digunakannya dalam menginterpretasi (Denzin, dalam Creswell 2012:474). Menjadi reflektif juga berarti bahwa kesimpulan penulis bersifat tentatif (sementara) tidak meyakinkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan baru. Penelitian ini mungkin diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang meminta tanggapan atau beberapa pandangan dari sudut pandang pembaca untuk mempertimbangkannya.
Sedangkan berdasarkan Nobuo Shimahara (dalam Gall dkk, 2003:486) mengidentifikasi tiga karakteristik utama dari penelitian etnografi, yaitu:
1.  Fokus dalam menemukan pola budaya dalam sikap manusia
2.  Fokus pada perpektif emic dari partisipan/budaya
3.  Fokus mempelajari setting alami di mana budaya diwujudkan

D. MASALAH ETIKA DALAM MELAKSANAAN PENELITIAN ETNOGRAFI
Masalah sopan santun dalam etnografi muncul terutama ketika peneliti melaksanakan kerja lapangan yaitu ketika peneliti mengumpulkan data. Madison (dalam Creswell, 2012: 474) mengingatkan peneliti dengan sebuah pertanyaan “apa implikasi moral dan sopan santun ketika melaksanakan penelitian lapangan?”. Etika dalam etnografi terkait tantangan-tantangan di lapangan yang memerlukan perundingan bagaimana untuk mendapatkan saluran ke orang-orang dan kawasan yang bakal dipelajari, berapa usang bakal bertempat tinggal, apakah rekaman pembicaraan sehari-hari atau pembicaraan wawancara yang diambil, dan bagaimana cara berinteraksi dengan saling menghormati (Ryen dalam Creswell, 2012: 474).
Menurut Madison (dalam Creswell, 2012:474) etika dalam penelitian etnografi antara lain yaitu:
1.  Etnografer harus terbuka dan transparan wacana pengumpulan data
     Harus memberikan wacana tujuan penelitian, dampak yang mungkin ditimbulkan, sumber-sumber pendanaan.
2.  Peneliti harus mempelajari orang-orang atau tempat-tempat dengan rasa hormat, menghindarkan dari bahaya, menjaga martabat mereka, dan memastikan privasi mereka terjaga.
3.  Peneliti dan penerima perlu menegosiasikan batas yang berkaitan dengan faktor-faktor ini.
4.  Peneliti etnografi juga memiliki tanggung jawab terhadap komunitas ilmiah, menyerupai tidak menipu salah satu penerima atau pembaca (contohnya memanipulasi data, mengarang bukti, memalsukan, menjiplak) atau tidak melaporkan kesalahan.
5.  Penelitian harus dilakukan dengan rasa hormat agar  peneliti lain tidak dihentikan memasuki lingkungan kelompok tersebut di masa yang bakal datang.
6.  Peneliti harus menawarkan umpan balik dan menawarkan imbalan kepada mereka yang diteliti yang adil dan mungkin memberikan sesuatu yang sedang dibutuhkan
7.  Peneliti juga harus menyadari potensi dampak negatif dari presentasi dan publikasi mereka yang mungkin ada pada populasi yang diteliti.

E.  Prosedur Penelitian Etnografi
Barangkali jumlah mekanisme dalam melaksanakan penelitian etnografis sama banyaknya dengan jumlah para etnografer itu sendiri. Semenjak masa-masa awal antropologi budaya ketika para peneliti ‘dikirim” ke pulau-pulau terpencil tanpa panduan untuk melaksanakan penelitian etnografis, hingga ketika ini kita telah memiliki prosedur, sekalipun telah memiliki mekanisme umum, untuk memandu sebuah kajian antropologi. Menurut Spradley (dalam Creswell, 2012:475) pendekatan yang sangat terstruktur yang digunakan untuk melaksanakan sebuah kajian etnografi. Seperti diperlihatkan oleh Diagram 14.3,














Berikut ini ialah langkah-langkah pengembangan penelitian etnografi berdasarkan Spradley
1.  Menetapkan informan
 Ada lima syarat minimal untuk menentukan informan, yaitu: (a) enkulturasi penuh, artinya mengetahui budaya miliknya dengan baik, (b) keterlibatan langsung, (c) suasana budaya yang tidak dikenal, biasanya bakal semakin mendapatkan tindak budaya sebagaimana adanya, ia tidak bakal basa-basi, (d) memiliki waktu yang cukup, (e) non-analitis.
2.  Melakukan wawancara kepada informan
Wawancara etnografis merupakan jenis insiden percakapan (speech event) yang khusus. Tiga unsur yang penting dalam wawancara etnografis ialah tujuan yang eksplisit, klarifikasi dan pertanyaannya yang bersifat etnografis.
3.  Membuat catatan etnografis
Sebuah catatan etnografis meliputi catatan lapangan, alat perekam gambar, artefak dan benda lain yang mendokumentasikan suasana budaya yang dipelajari.
4.  Mengajukan pertanyaan deskriptif
Pertanyaan deskriptif mengambil “keuntungan dari kekuatan bahasa untuk menafsirkan setting”. Etnografer perlu untuk mengetahui paling tidak satu setting yang di dalamnya informan melaksanakan kegiatan rutinnya.
5.  Melakukan analisis wawancara etnografis.
Analisis ini merupakan penyelidikan banyak sekali belahan sebagaimana yang dikonseptualisasikan oleh informan.
6.  Membuat analisis domain.
Analisis ini dilakukan untuk mencari domain awal yang memfokuskan pada domain-domain yang merupakan nama-nama benda.
7.  Mengajukan pertanyaan struktural yang merupakan tahap lanjut sehabis mengidentifikasi domain.
8.  Membuat analisis taksonomik.
Ada lima langkah penting membuat taksonomi, yaitu: (a) pilih sebuah domain analisis taksonomi, (b) identifikasi kerangka substitusi yang sempurna untuk analisis, (c) cari subset di antara beberapa istilah tercakup, (d) cari domain yang lebih besar, (f) buatlah taksonomi sementara.
9.  Mengajukan pertanyaan kontras dimana makna sebuah simbol diyakini sanggup ditemukan dengan menemukan bagaimana sebuah simbol berbeda dari simbol-simbol yang lain.
10.  Membuat analisis komponen.
Analisis komponen merupakan suatu pencarian sistematik banyak sekali atribut (komponen makna) yang bekerjasama dengan simbol-simbol budaya.
11.  Menemukan tema-tema budaya.
12. Langkah terakhirnya yakni menulis sebuah etnografi.
Dibalik pendekatan Spradley yang sangat terstruktur, Creswell (2012:476) mengajukan serentetan langkah yang menyajikan sebuah template umum ketimbang mekanisme tetap untuk melaksanakan etnografi. Disamping itu, pertimbangan-pertimbangan dari para etnografer sendiri dan para peneliti studi masalah berbeda secara prosedural, dan bakal dibandingkan untuk mencari kesamaan dan perbedaan diantara ketiga bentuk etnografi: realis, studi kasus, dan kritis..
1.  Mengidentifikasi Tujuan dan Tipe rancangan, dan Mengaitkan Tujuan dengan Masalah Penelitian
          Langkah-langkah pertama dan yang paling penting dalam melaksanakan penelitian ialah mengidentifikasi kenapa anda melaksanakan penelitian, rancangan bentuk apa yang anda bakal gunakan, dan bagaimana tujuan anda terkait dengan duduk kasus penelitian anda. Faktor-faktor ini perlu diidentifikasi dalam ketiga bentuk etnografi dan studi kasus. Tujuan penelitian anda dan tipe duduk kasus yang anda ingin teliti bakal secara signifikan berbeda, tergantung pada apakah anda bakal melaksanakan penelitian etnografi realis, studi masalah atau kritis.
          Dalam etnografi realis, fokusnya diletakkan pada pemahaman wacana kelompok berbudaya sama dan dengan memakai kelompok tersebut, pemahaman yang lebih mendalam terhadap tema budaya bakal sanggup dikembangkan. Kelompok berbudaya sama boleh jadi keseluruhan sekolah atau sebuah ruang kelas. Tema-temanya boleh jadi meliputi topik-topik menyerupai enkulturasi, akulturasi, sosialisasi, pendidikan terlembagakan, pembelajaran dan kognisi, dan perkembangan anak dan orang remaja (LeCompte dkk, dalam Creswell, 2012:477).
Untuk studi kasus, terfokus pada pengembangan pemahaman yang mendalam wacana suatu kasus, menyerupai peristiwa, aktivitas, atau proses. Dalam dunia pendidikan, ini sering meliputi kajian wacana seorang individu atau beberapa orang individu, menyerupai para siswa atau para guru. Pertimbangan penting yang tak boleh dilupakan ialah bagaimana anda mengunakan masalah tersebut, menyerupai menilai secara instrinsik manfaat memahami sebuah isu, atau menawarkan informasi atau membandingkan beberapa kasus.
Dalam etnografi kritis, tujuannya berubah secara dramatis dari tujuan-tujuan yang dipakai di dalam etnografis realis atau proyek studi kasus. Seorang etnografer kritis berupaya menjawab masalah-masalah terkait dengan ketidaksederajatan di dalam masayarakat atau sekolah, merancang untuk memakai penelitian, guna menawarkan advokasi dan mengupayakan adanya perubahan, secara khusus mengidentifikasi isu-isu spesifik (seperti ketidaksederajatan, dominasi, penindasan, atau pemberdayaan) untuk diteliti.
2.  Membicarakan Masalah-masalah terkait dengan Persetujuan  dan Akses
Dalam langkah ini, ketiga jenis rancangan mengikuti mekanisme yang sama. Peneliti perlu mendapatkan persetujuan dari tubuh pemberi izin. Peneliti juga perlu mengidentifikasi jenis sampling bertujuan yang ada dan yang paling relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dalam proses ini, identifikasi situs penelitian dan kemudian identifikasi pula penjaga (gate keeper) yang bisa menawarkan saluran pada anda ke situs dan para partisipan. Dalam semua penelitian, harus menghormati dan menghargai situs/tempat penelitian, secara aktif merancang penelitian untuk terus melaksanakan kerja sama timbal balik dengan para indvidu di lokasi penelitian. Ini bermakna bahwa anda menjamin dan menjaga semoga situs tidak terganggu secara berlebihan dan mengikuti praktek-praktek sopan santun yang baik menyerupai menjamin privasi dan anonimitas, tidak menipu para individu, dan memberitahukan kepada semua partisipan wacana tujuan penelitian anda.
3.  Gunakan Prosedur Pengumpulan Data yang Tepat
Pada Tabel 15.4 sanggup dilihat bahwa ketiga rancangan ini memiliki ciri yang sama, dengan penitikberatan pada pengumupulan data yang ekstensif sekali, memakai mekanisme beragam dalam pengumpuan data, keterlibatan secara aktif semua partisipan dalam proses penelitian.
Dalam etnografi realis, lantaran peneliti bakal menghabiskan banyak waktu dengan para individu di lapangan, (contohnya hingga 4 bulan atau lebih), anda perlu memasuki situs secara berangsur-angsur dan sedapat mungkin secara tidak kentara (unobtrusive) . Membangun hubungan (rapport) dengan penjaga dan partisipan-partisipan kunci penting sekali untuk kontak yang berjangka panjang. Dalam laporan-laporan etnografi realis, penitikberatan diberikan pada pembuatan catatan-catatan lapangan dan pengamatan terhadap “cultural scence” (pemandangan budaya). Wawancara dan artifak menyerupai gambar, reliks, dan simbol-simbol juga merupakan bentuk-bentuk data yang penting. Data apa saja yang bisa membantu mengembangkan pemahaman yang mendalam wacana pola-pola yang diayomi bersama oleh kelompok budaya tertentu bakal sangat bermanfaat.
Dalam studi kasus, tujuan penelitian ialah untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam wacana sebuah masalah atau sebah isu, dan para peneliti mengumplkan sebanyak-banyaknya jenis data  demi mengembangkan pemahaman ini.
Dalam etnografi kritis, pengumpulan data kurang terfokus pada waktu di lapangan atau pada jangkauan data dan lebih pada kerja sama aktif antara para peneliliti dan partisipan selama penelitian. Karena tujuan dari etnografi kritis ialah untuk membantu membawa perubahan yang kuat terhadap kehidupan para partisipan, para partisipan perlu terlibat dalam memahami diri mereka sendiri dan langkah-langkah apa yang harus diambil untuk meningkatkan kesederajatan mereka, untuk menawarkan pemberdayaan, atau untuk mengurangi ketertindasan yang mereka alami. Kolaborasi tersebut boleh jadi melibatkan para partisipan dalam merancang penelitian, merumuskan duduk kasus penelitan, mengumpulkan data, atau menganalisis data yang sudah terkumpul. Ia boleh jadi juga meliputi pelibatan partisipan secara aktif menulis laporan simpulan penelitian tolong-menolong dengan anda.














4.  Menganalisis dan Menginterpretasi Data dalam sebuah Rancangan
Dalam semua rancangan etnografi, peneliti bakal terlibat dalam proses pengembangan deskripsi, analisis data dalam rangka menemukan tema-tema, dan menawarkan interpretasi dalam rangka memaknai informasi. Ini merupakan mekanisme yang biasa dilalui dalam analisis dan interpretasi pada semua penelitian kualitatif. Walaupun demikian, perbedaan tipe rancangan penelitian etnografi bervariasi dalam pendekatannya terhadap mekanisme tersebut.
Dalam etnografi kritis, anda perlu mempertimbangkan keseimbangan antara deskripsi, analisis, dan interpretasi sehingga masing-masingnya menjadi unsur yang penting dalam analisis anda. Selanjutnya, anda bisa mendisukusikan di dalam interpretasi anda tersebut bagaimana anda memahami tema-tema kultural, secara aktif melaksanakan refleksi wacana informasi yang ditemui di dalam materi kepustakaan, dan mengajukan gagasan bagaimana penelitian anda menawarkan bantuan terhadap pemahaman tema kulural dimaksud. Dalam studi kasus, sekali lagi analisis mengikuti deskripsi, analisis, dan interpretasi, bakal tetapi mekanisme analisis bervarasi tergantung pada apakah anda meneliti masalah tunggal atau masalah jamak. Prosedur studi masalah untuk masalah jamak ialah menganalisis masing-masing masalah secara terpisah dan kemudian melaksanakan analisis antar studi masalah (Stake dalam Creswell, 2012:479) untuk mengidentifikasi tema-tema umum dan tema-tema yang berbeda di antara kasus-kasus tersebut masing-masing.
5.  Menyusun Laporan Sesuai dengan Rancangan
Etnografi realis ditulis sebagai sebuah laporan informasi yang objektif tentang  kelompok berbudaya sama. Pandangan pribadi dan bias anda bakal tetap berada di latar belakang, pembicaraan pada simpulan laporan bakal menunjukan bagaimana penelitian itu menawarkan bantuan terhadap pengetahuan berkenaan dengan tema kultural yang didasarkan pada pemahaman terhadap pola-pola yang sama dalam bertingkah laku, berpikir dan berbahasa dari kelompok berbudaya sama itu. Walaupun demikian, studi masalah boleh jadi memberi penitikberatan pada deskripsi yang rinci wacana suatu kasus. Anda menuliskan sebuah studi masalah secara keseluruhan dalam rangka menawarkan fokus terhadap deskripsi ketimbang pengembangan tema, menyerupai studi masalah deskriptif yang dilakukan oleh Stake (1995) wacana “Harper School”. Studi masalah yang lain menyeimbangkan antara deskripsi dan tema, seperi studi kasus “gunman incident” oleh Asmussen dan Crewell (1995). Salah satu faktor pelengkap yang membedakan antara studi masalah dari rancangan etnografi yang lain ialah penulis boleh berdiskusi dalam rangka membuat generalisasi temuan-temuan terhadap kasus-kasus yang lain, terutama apabila si peneliti mengkaji stud-studi masalah jamak. Walaupun para peneliti kualitatif merasa enggan membuat generalisasi terhadap temuan-temuan penelitian mereka, penggunaan studi-studi masalah jamak menawarkan beberapa kemampuan untuk mengidentifikasi temuan-temuan yang bersifat umum bagi semua masalah dengan memakai analisis antar kasus. Apabila ini terjadi, para peneliti sudi masalah bisa menyarankan bahwa temuan-tmuan mereka bisa digeneralisasikan, bakal tetapi klaim mereka dibaut secara lebih moderat.
Dalam etnografis kritis, para peneliti mengakhiri laporan penelitian mereka dengan isu “kritis” yang tadinya telah mengawali penelitian tersebut, dan kemudian mendiskusikan bagaimana mereka dan para partisipan berubah atau mengambil manfaat dari penelitian tersebut. Termasuk ke dalam “call for action”  (ajakan untuk berbuat) oleh para etnografer kritis  boleh jadi merupakan refleksi  wacana perubahan-perubahan yang mereka dan para partisipan telah alami. Tanpa diragukan lagi, dalam semua bentuk penelitian, para peneliti berubah, bakal tetapi para etnografer kritis , sebagai para peneliti yang mawas diri, memberi penitikberatan pada bagaimana mereka dan para partisipan berubah.
Menurut Spradley (dalam Ary dkk, 2010:462). Prosedur siklus penelitian etnografi meliputi enam langkah yaitu (1) pemilihan suatu proyek etnografi, (2) pengajuan pertanyaan etnografi, (3) pengumpulan data etnografi, (4) pembuatan suatu rekaman etnografi, (5) analisis data etnografi, dan (6) penulisan sebuah etnografi.
1.  Memilih proyek etnografi.
Ruang lingkup proyek-proyek ini sanggup sangat bervariasi dari mempelajari keseluruhan masyarakat yang kompleks, menyerupai kelompok berburu Inuit di Alaska, hingga mempelajari situasi sosial tunggal atau lembaga, menyerupai kafetaria perkotaan, persaudaraan, atau taman bermain sekolah. Para pemula bakal bijaksana untuk membatasi ruang lingkup nya proyek untuk situasi sosial tunggal sehingga sanggup diselesaikan dalam waktu yang wajar. Sebuah situasi sosial selalu memiliki tiga komponen: tempat, pelaku, dan kegiatan.
2.  Mengajukan pertanyaan etnografis.
Peneliti memiliki pertanyaan dalam pikirannya untuk membimbing apa yang ingin ia lihat, ia dengar dan data yang ingin dikumpulkan
3.  Mengumpulkan data etnografi.
Peneliti melaksanakan penelitian lapangan untuk mengetahui kegiatan orang-orang, karakteristik fisik, dan bagaimananya rasanya menjadi belahan dari situasi. Langkah ini biasanya dimulai dengan citra yang terdiri dari pengamatan deskriptif yang luas. Kemudian, sehabis melihat data, peneliti berpindah ke pengamatan yang lebih terfokus. Di sini, peneliti memakai observasi partisipan, wawancara mendalam, dan sebagainya untuk mengumpulkan data
4.  Membuat catatan etnografis.
Langkah ini termasuk mengambil catatan lapangan dan foto, membuat peta, dan memakai cara lain yang sesuai untuk merekam pengamatan.
5.  Menganalisis data etnografi.
Penelitian lapangan selalu diikuti dengan analisis data, yang mengarah ke pertanyaan-pertanyaan gres dan hipotesis baru, pengumpulan lebih banyak data dan catatan lapangan, serta analisis yang lebih mendalam. Siklus tersebut terus berlanjut hingga proyek selesai.















6.  Menulis etnografi.
Etnografi harus ditulis, sehingga budaya atau kelompok sanggup dibawa ke kehidupan nyata, membuat pembaca merasa bahwa mereka memahami orang-orang dan cara hidup mereka atau situasi dan orang-orang di dalamnya. Laporan etnografis sanggup berbentuk panjang dari beberapa halaman untuk satu atau dua volume. Penulisan harus rinci dan konkret, tidak umum atau samar.

F.  Evaluasi dan analisa penelitian etnografi
Kriteria untuk mengevaluasi etnografi dimulai dengan menerapkan standar yang dipakai dalam penelitian kualitatif, kemudian faktor-faktor tertentu harus dipertimbangkan dengan benar. Dalam evaluasi etnografi yang baik, peneliti (Creswell, 2012: 480) harus memastikan:
1.  Apakah kelompok berbudaya sama atau masalah yang diteliti teridentifikasi secara terperinci dan spesifk?
2.  Apakah ada pola-pola yang diidentifikasi untuk kelompok atau masalah tersebut?
3.  Apakah kelompok atau masalah itu dideskripsikan secara rinci?
4.  Apakah terperinci kelihatan konteks yang ada di seputar kelompok atau masalah itu?
5.  Apakah si penulis melaksanakan refleksi wacana peranannya dalam penelitian?
6.  Apakah peneliti membuat interpretasi dengan lingkup yang lebih luas wacana makna dari pola-pola atau masalah tersebut?
7.  Apakah interpretasi itu muncul secara masuk akal (tidak dibuat-buat) dari deskripsi dan tema?
8.  Dari membaca sebuah etnografi, apakah pembaca memiliki pemahaman wacana bagaimana sebuah budaya berfungsi ditilik dari sudut pandang partisipan dan peneliti?
9.  Apakah si penelti mengecek akurasi penelitian dengan jalan memakai prosedur, menyerupai triangulasi antar sumber data atau membawa laporan penelitian kembali pada para partisipan untuk ditinjau ulang?
Menurut Spradley (dalam Emzir, 2012) terdapat empat jenis analisis, yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponen, dan analisis tema.
a.  Analisis domain, yaitu memperoleh citra umum dan menyeluruh dari objek penelitian atau situasi sosial. Melalui pertanyaan umum dan pertanyaan rinci peneliti menemukan banyak sekali kategori atau domain tertentu sebagai pijakan penelitian selanjutnya. Semakin banyak domain yang dipilih, semakin banyak waktu yang diharapkan untuk penelitian.
b.  Analisis taksonomi, yaitu menjabarkan domain-domain yang dipilih menjadi lebih rinci untuk mengetahui struktur internalnya. Hal ini dilakukan dengan melaksanakan pengamatan yang lebih terfokus.
c.   Analisis komponensial, yaitu mencari ciri spesifik pada setiap struktur internal dengan cara mengontraskan antar elemen. Hal ini dilakukan melalui observasi dan wawancara terseleksi melalui pertanyaan yang mengontraskan.
d.  Analisis tema budaya, yaitu mencari hubungan di antara domain dan hubungan dengan keseluruhan, yang selanjutnya dinyatakan ke dalam tema-tema sesuai dengan fokus dan subfokus penelitian.

G.   Instrumen Pengumpul Data Etnografi
Selama penelitian lapangan, etnografer memakai banyak sekali teknik  untuk mengumpulkan data. Tabel 14.3, yang merupakan daftar komposit dari LeCompte dan Schensul ; Wolcott (dalam Creswell, 2012:471), menampilkan beberapa teknik pengumpulan data. Observasi dan wawancara terstruktur sangat terkenal di kalangan jago etnografi. Adapun instrumen pengumpul data pada penelitian etnografi selengkapnya ialah sebagai berikut:
1.  Wawancara mendalam (indepth interview)
Merupakan serangkaian pertanyaan yang diajukan peneliti kepada subjek penelitian. Mengingat aksara etnografi yang naturalistik, maka bentuk pertanyaan atau wawancara yang dilakukan merupakan pertanyaan terbuka dan sifatnya mengalir, meski demikian untuk menjaga fokus penelitian ada baiknya seorang peneliti memiliki panduan wawancara yang sifatnya fleksibel. Setiap wawancara yang dilakukan, peneliti harus memperdalamnya dengan cara membuat catatan hasil wawancara dan observasi. Karena itu, kegiatan wawancara bakal selalu menghasilkan pertanyaan gres yang sifatnya memperdalam apa yang telah diterima dari subjek penelitan. Dalam konteks memperdalam data, proses wawancara sanggup dilakukan secara impulsif maupun terencana.
2.  Observasi partisipan (participant observation).
Untuk mengetahui secara detail eksklusif bagaimana budaya yang dimiliki individu atau sekelompok masyarakat maka seorang peneliti etnografi harus menjadi “orang dalam”. Menjadi “orang dalam” bakal memberi laba peneliti dalam menghasilkan data yang sifatnya natural. Peneliti bakal mengetahui dan memahami apa saja yang dilakukan subjek penelitian, perilaku keseharian, kebiasaan – kebiasaan yang dilakukan keseharian, hingga pada pemahaman terhadap simbol-simbol kehidupan subjek penelitian dalam keseharian yang bisa jadi orang lain tidak memahami apa bahwasanya simbol itu. Menjadi orang dalam menawarkan saluran yang luar biasa bagi peneliti untuk menguak semua hal tanpa sedikitpun halangan, lantaran subjek penelitian bakal merasa kehadiran peneliti tak ubahnya sebagai belahan dari keluarganya, sehingga tidak ada keraguan dan kendala bagi subjek untuk berperilaku alami, sebagaimana layaknya ia hidup dalam keseharian. Namun demikian, menjadi orang dalam melalui kegiatan observasi partisipan tidak menjadikan peneliti larut hingga tidak bisa membedakan dirinya dengan diri subjek penelitian. Posisi inilah yang harus benar-benar dijaga dalam melaksanakan riset etnografi.
3.  Diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion)
Merupakan kegiatan diskusi bersama antara peneliti dengan subjek penelitian secara terarah. Dalam konteks ini bahwasanya kemampuan peneliti untuk menyajikan isu atau tema utama, mengemasnya dan kemudian mendiskusikan serta mengelola diskusi itu menjadi terarah dalam arti proses diskusi tetap berada dalam wilayah tema dan tidak terlalu melebar apalagi hingga menyertakan emosi subjek secara berlebihan menjadi kata kunci dari proses diskusi yang baik. Diskusi kelompok terarah ini bisa diawali dengan pemilihan anggota diskusi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti, ataupun sanggup saja dilakukan dengan secara acak, namun tetap memperhatikan kekuatan masing-masing penerima diskusi, mulai dari tingkat pendidikan, intelektualitas, pengalaman bahkan keseimbangan gender. Dengan penetapan ini, merupakan langkah untuk menghindari ketimpangan atau dominannya satu kelompok atau individu dalam sebuah diskusi. Kemudian, dilanjutkan dengan tema yang bakal diusung peneliti, dan diskusikan secara bersama. Proses inilah yang kemudian oleh peneliti dicatat secara rinci untuk kemudian dijadikan dasar pijak untuk memperdalam dan memperkaya data etnografi.
4.  Sejarah hidup (Life history)
Merupakan catatan panjang dan rinci sejarah hidup subjek penelitian. Melalui catatan sejarah hidup ini peneliti etnografi bakal memahami secara detail apa saja yang menjadi kehidupan subjek penelitian dan faktor-faktor yang mempengaruhinya termasuk budaya yang ada di lingkungannya. Catatan sejarah hidup, menghendaki kemampuan peneliti untuk jeli dalam melihat setiap detail kehidupan seseorang, sehingga tergambar dengan terperinci bagaimana jalan kehidupan subjek penelitian dari lahir hingga remaja sehingga terketemukan peristiwa-peristiwa penting yang menjadi titik balik (turning point) dalam sejarah kehidupan subjek penelitian. Meski hampir sama dengan pola autobiografi, namun terdapat perbedaan terutama pada upaya yang lebih kuat dalam penulisan untuk menghindari subjektivitas penulis.
5.  Analisis dokumen (Document analysis).
Analisis dokumen diharapkan untuk menjawab pertanyaan menjadi terarah, disamping menambah pemahaman dan informasi penelitian. Mengingat dilokasi penelitian tidak semua memiliki dokumen yang tersedia, maka ada baiknya seorang peneliti mengajukan pertanyaan wacana informan-informan yang sanggup membantu untuk menetapkan apa jenis dokumen yang mungkin tersedia. Dengan kata lain kebutuhan dokumen bergantung peneliti, namun peneliti harus menyadari keterbatasan dokumen, dan bisa jadi peneliti mencoba memahami dokumen yang tersedia, yang mungkin sanggup membantu pemahaman.
H. Kelebihan dan kelemahan Etnografi
Gall (2003:494-495) menemukan beberapa kelebihan dan kelemahan dari penelitian etnografi.
1.  Kelebihan
Salah satu aspek yang paling berharga yang dihasilkan dari penelitian etnografi ialah kedalamannya. Karena peneliti berada untuk waktu yang lama, peneliti melihat apa yang dilakukan orang serta apa yang mereka katakan. Peneliti sanggup memperoleh pemahaman yang mendalam wacana orang-orang, organisasi, dan konteks yang lebih luas. Peneliti lapangan mengembangkan keakraban yang intim dengan dilema, frustrasi, rutinitas, hubungan, dan risiko yang merupakan belahan dari kehidupan sehari-hari. Kekuatan yang mendalam dari etnografi ialah yang paling “mendalam” atau “intensif”. Dari pengetahuan wacana apa yang terjadi di lapangan sanggup menawarkan informasi penting untuk perumusan perkiraan penelitian. Secara singkat kelebihan pengunaan penelitian etnografi dijelaskan di bawah ini, sebagai berikut:
a.  Menghasilkan pemahaman yang mendalam. Karena yang dicari dalam penelitian ini bukan hal yang tampak, melainkan yang terkandung dalam hal yang nampak tersebut
b.  Mendapatkan atau memperoleh data dari sumber utama yang berarti memiliki tingkat falidasi yang tinggi.
c.    Menghasilkan deskripsi yang kaya, klarifikasi yang spesifik dan rinci
d.  Peneliti berinteraksi eksklusif dengan masyarakat sosial yang bakal diteliti.
e.  Membantu kemampuan beinteraksi lantaran menuntut kemampuan bersosialisasi dalam budaya yang ia coba untuk dijelaskan.
2.  Kelemahan
Salah satu kelemahan utama penelitian etnografi ialah bahwa dibutuhkan lebih usang waktu daripada bentuk penelitian lainnya. Tidak hanya membutuhkan waktu usang untuk melaksanakan kerja lapangan, tetapi juga memakan waktu usang untuk menganalisis materi yang diperoleh dari penelitian. Bagi kebanyakan orang, ini berarti pelengkap waktu. Kelemahan lain dari penelitian etnografi ialah bahwa lingkup penelitiannya tidak luas. Etnografi sebuah studi biasanya hanya satu organisasi budaya. Bahkan keterbatasan ini ialah kritik umum dari penelitian etnografi, penelitian ini hanya mengarah ke pengetahuan yang mendalam konteks dan situasi tertentu. Secara singkat kelemahan pengunaan penelitian etnografi dijelaskan di bawah ini, sebagai berikut:
a.  Perspektif pengkajian kemungkinan dipengaruhi oleh kecenderungan budaya peneliti.
b.  Membutuhkan jangka waktu yang panjang untuk mengumpulkan data dan mengelola data.
c.   Pengaruh budaya yang diteliti sanggup mepengaruhi psikologis peneliti, ketika peneliti kembali kebudaya asalnya.
d.  Peneliti yang tidak memiliki kemampuan sosialisasi, terdapat kemungkinan penolakan, dari masyarakat yang bakal diteliti.
















DAFTAR PUSTAKA


Ary, Donald., Jacobs, Lucy Cheser., Razavieh, Asghar. (2010). Introduction to Research in Education 8th edition. Wardswoth Cengage Learning. Canada: Nelson Education ltd
Cresswell, Jhon W., (2012). Eduactional Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. Ney Jersey: Person Education, Inc.

Emzir. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif : Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers

Emzir. (2013). Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers
Gall, M.D., Gall, J.P. and Borg, W.R. (2003) Educational Research: An         Introduction, Seventh Edition. New York: Pearson education Inc

Spradley, J.P. (2007). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana






0 Response to "Penelitian Etnografi"

Total Pageviews