Sudah Berapa Pahala Kita bulan mulia Ini? Matematika Puasa dan Pahala
Bagaimana menghitung jumlah pahala kita? Sudah berapa kali puasa? Sudah berapa rupiah uang yg kita sedekahkan? Sudah berapa orang yg sudah kita beri makanan dan takjil? Sudah sebandingkah jumlah pahala kita dengan dosa yg sudah diperbuat selama ini? Jika masih lebih banyak dosa, butuh berapa hari lagi untuk kita bisa menutupi kekurangan itu? Jika sudah tercapai semua, kaveling nirwana sebelah mana yg kita kehendaki? Ataukah kita justru ditertawakan oleh Tuhan alasannya ialah menghitung pahala ala debit dan kredit perbankan.
Ramadan ini mirip Ramadan-Ramadan
sebelumnya banyak orang Indonesia berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan. Meramaikan masjid-masjid dengan tadarus Quran dengan pengeras bunyi yg nyaring. Musala-musala juga tidak mau kalah, melaksanakan hal yg sama. Ada pula yg tidak terima, tidak cukup musala, rumah-rumah warga juga menggelar tadarus bersama dengan pengeras suara. Ada pula orang yg memanfaatkan bulan mulia untuk menambah pundi-pundi rupiah. Iklan-iklan produk makanan dan minuman di televisi semakin tiada henti. Pasar semakin riuh transaksi untuk keperluan Ramadan. Jalanan semakin ramai dengan penjual takjil dadakan, dan beberapa kelompok masyarakat baik organisasi profesi dan hobi yg membagikan takjil gratis. Menjelang final Ramadan, yg semakin penuh sesak ialah toko busana. Memperbarui busana untuk tampil terbaik di hari idulfitri.
Tidak terima hanya mengajak diri sendiri untuk berbuat baik dan tampil baik di bulan bulan mulia dan menjelang Lebaran nanti, ada pula orang-orang atau kelompok orang yg mengajak orang lain untuk berbuat baik. Panitia pengumpul zakat fitrah bermunculan, berbasis masjid, berbasis organisasi, sekolah, dan amil zakat sekala nasional juga mengajak untuk berzakat, berinfak, dan bersedekah.
Tak langka pula, hingga ada kelompok yg memaksa untuk meminta makanan buka puasa. Sampai-sampai KH. A. Mustofa Bisri Kiai Sepuh NU ini menulis di akun twitternya @gusmusgusmu: “Puasa-puasamu sendiri, kok minta pertolongan pengusaha warung. Minta bantuannya maksa lagi.” Status twitter yg diikuti emoticon tertawa dan tertawa sambil menangis itu menerima berbagai respon baik berupa komentar, menyukai, dan retweet.
Puasa yg seharusnya menahan diri, kok justru menjadi perlombaan yg terkesan duniawi. Puasa itu menahan nafsu, baik nafsu birahi, nafsu amarah, dan nafsu kebencian. yg Mudah ialah menahan nafsu birahi, cukup tutup mata dan pendengaran dari hal-hal negatif, kemungkinan besar kita sudah bisa menahan nafsu birahi. Nafsu amarah dan nafsu kebencian yg sangat sulit ditaklukkan. Seorang puasa dan murka pada orang yg tidak puasa, berMakna gagal menahan nafsu amarah. Jika hingga muncul dalam hatinya kebencian kepada orang yg tidak puasa, ia sudah gagal menahan nafsu kebencian pula.
Di kala sosial media ini, ada pula nafsu yag paling sulit dikendalikan, dan kita sering kali tidak sadar jikalau sudah dikalahkan oleh nafsu ini. Yaitu: nafsu eksistensi. Nafsu yg ingin menunjukkan jati diri. Dengan update status di akun media umum kita: Waduh sahur nanti pake apa ya enaknya, contohnya. Adalah sebuah upaya menunjukkan keberadaan kita, menunjukkan bahwa kita sedang berpuasa. Atau ada yg mengunggah gambar lucu alias meme wacana puasa dan ramadan contohnya yg berbunyi: puasa gini, liat kecoa jadi kebayang korma. Pada dasarnya juga menunjukkan bahwa kita sedang berpuasa. Apa pentingnya orang lain tahu bahwa kita sedang berpuasa. Padahal kita sendiri tidak pernah mengetahui, puasa kita diterima ataukah tidak.
Lebih baik kita bersyukur, masih bisa berpuasa, masih bisa bertarawih, atau bertadarus contohnya. Tapi ingat, bersyukur tak perlu ditulis di sosial media, contohnya: alhamdulillah tarawih hari keenam. Tuhan sudah tahu, dan Tuhan lebih tahu.
Jangan-jangan goresan pena ini juga bab dari nafsu eksistensi? Wallahua’lambissawab
0 Response to "Sudah Berapa Pahala Kita Ramadan Ini? Matematika Puasa Dan Pahala"